Mengapa Nasionalisme Tak Harus Keras, Pemuda Hari Ini Butuh Kebangsaan yang Lembut dan Merangkul

Tentang pendekatan kebangsaan yang penuh empati, bukan hanya heroisme. (Cici AI)
Deskripsi: Memaknai Hari Sumpah Pemuda; Nasionalisme bukan tentang teriakan dan kekuatan, tapi kelembutan yang mampu merangkul jiwa-jiwa muda yang sedang tumbuh.
CHARACTER LEARNNG – Aku tumbuh di tengah narasi besar tentang cinta tanah air. Nasionalisme digambarkan sebagai sesuatu yang gagah, perkasa, dan penuh semangat juang. Di sekolah, nasionalisme identik dengan barisan upacara yang tegap, lagu kebangsaan yang dikumandangkan lantang, dan kisah-kisah pahlawan yang heroik dengan akhir tragis yang diagungkan.
Namun semakin aku tumbuh, aku menyadari satu hal penting yang jarang sekali dibahas: tidak semua pemuda mampu dan nyaman menerima nasionalisme yang keras. Tidak semua pemuda bisa menyambut cinta tanah air dengan baris berbaris, teriakan yel-yel, atau bahkan kompetisi adu gagasan yang memanas. Sebagian dari kita, para pemuda yang lebih senyap, lebih reflektif, dan lebih tenang, justru memaknai nasionalisme dari sisi yang lain: sisi yang lembut.
Hari ini, aku ingin menulis tentang itu. Tentang nasionalisme yang tak perlu keras, tak perlu mengintimidasi, tak perlu penuh tekanan. Nasionalisme yang hadir sebagai kehangatan, bukan ancaman. Sebagai pelukan, bukan pukulan. Nasionalisme yang bisa hidup di ruang tenang seorang introvert, dan tak harus selalu bersuara lantang di podium.
Ketika berbicara tentang kebangsaan, kita sering terlalu terpaku pada bentuk-bentuk fisik yang mudah dilihat. Bendera, seragam, pidato-pidato resmi, parade, dan slogan. Kita lupa bahwa kebangsaan sejatinya adalah tentang hubungan emosional antara warga dan tanah airnya. Dan seperti semua hubungan yang sehat, kebangsaan yang mendalam haruslah dibangun atas dasar rasa aman, empati, dan penerimaan.
Pemuda hari ini hidup dalam lanskap yang berbeda. Kita hidup di era kecemasan kolektif, di tengah tekanan sosial, ekonomi, dan bahkan eksistensial yang sangat tinggi. Dalam kondisi ini, kerasnya nasionalisme bisa terasa seperti beban tambahan. Ketika negara hanya hadir sebagai tuntutan—“berjuanglah”, “korbankanlah”, “jadilah garda terdepan”—tanpa memberi ruang untuk bernapas, maka yang lahir bukanlah cinta, melainkan keterpaksaan.
Nasionalisme tidak harus dipaksakan. Ia seharusnya tumbuh seperti tanaman: diberi ruang, diberi cahaya, diberi air, dan dirawat dengan sabar. Ia akan muncul ketika seseorang merasa diterima dan dimanusiakan oleh bangsanya.
Aku pernah merasa tidak cukup “nasionalis” hanya karena aku tidak suka teriak-teriak di forum pemuda, atau karena aku memilih diam saat topik kebangsaan dibicarakan secara fanatik. Tapi belakangan aku sadar: bentuk nasionalisme-ku hadir lewat tulisan ini. Lewat keinginanku membuat orang-orang merasa lebih sadar, lebih empatik, dan lebih manusiawi sebagai warga negara.
Setiap dari kita punya cara yang berbeda dalam mencintai tanah air. Ada yang turun ke jalan dengan idealisme menyala. Ada yang menciptakan teknologi untuk memecahkan masalah lokal. Ada yang mendidik anak-anak di pelosok. Ada pula yang menulis di balik layar, menghidupkan semangat melalui kata.
Bagi pemuda-pemuda yang seperti aku, kami tidak butuh nasionalisme yang keras. Kami butuh kebangsaan yang lembut. Yang mau mendengarkan. Yang tidak mencurigai kami hanya karena kami pendiam. Yang tak mengukur semangat kami dari seberapa sering kami berteriak “NKRI harga mati”.
Nasionalisme yang lembut adalah nasionalisme yang memberi ruang. Ia tidak menghardik. Ia merangkul. Ia menyemangati dengan bisikan, bukan bentakan. Ia tidak menggertak agar dicintai, tapi hadir setia agar dirindukan.
Bayangkan jika pendidikan kebangsaan di sekolah tidak hanya bicara soal “siapa musuh bangsa ini di masa lalu”, tetapi juga tentang “bagaimana kita memperlakukan yang berbeda di sekitar kita hari ini”. Bayangkan jika pelajaran cinta tanah air tidak dimulai dari barisan rapih, tapi dari belajar mendengar teman yang sedang gelisah. Bayangkan jika nasionalisme tidak sekadar soal pengorbanan, tapi juga tentang merawat.
Karena tanah air ini bukan hanya soal tanahnya. Ia adalah tentang orang-orangnya. Dan orang-orang itu, termasuk pemudanya, memiliki emosi, luka, dan harapan.
Nasionalisme yang lembut tahu bahwa luka generasi muda tidak bisa disembuhkan dengan slogan. Ia tahu bahwa banyak anak muda merasa tidak memiliki tempat di negeri sendiri, dan jawaban dari itu bukan makian, melainkan pelukan. Bukan tudingan “kamu tak cinta negeri ini”, melainkan pertanyaan hangat, “apa yang bisa kami bantu agar kamu merasa dicintai di negeri ini?”
Hari ini, di momen Sumpah Pemuda, aku memilih untuk tidak berteriak. Aku memilih untuk menulis. Karena aku percaya, nasionalisme tidak butuh suara keras, tapi suara yang tulus. Dan aku percaya, bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang mendewakan kerasnya suara, tapi yang memelihara kelembutan hati rakyatnya.
Aku, pemuda yang tenang, mencintai Indonesia dengan cara yang diam-diam, tapi dalam. Dan mungkin kamu juga.[*]