Saat Anak Terlihat Egois: Bisa Jadi Ia Dulu Tak Pernah Punya Ruang untuk Mendengarkan Dirinya Sendiri

Egosi (Gemini AI)

Deskripsi: Egois bukan selalu karena manja. Bisa jadi, sejak kecil ia diminta terus mengalah, tak diberi ruang untuk berkata “aku ingin.” Maka kini, ia belajar mempertahankan dirinya dengan cara yang keras.

CHARACTER LEARNING – Anak itu egois sekali, ya. Maunya menang sendiri, nggak mau ngalah.”
Pernahkah kita mengucapkan kalimat itu—atau sekadar memikirkannya dalam hati?

Aku pernah. Bahkan bukan cuma satu dua kali. Dan biasanya, ucapan itu keluar saat aku merasa kewalahan: ketika anakku tak mau berbagi mainan, marah kalau keinginannya tidak langsung dituruti, atau ngambek kalau tidak jadi ikut ke tempat yang ia inginkan.

Tapi kemudian aku terdiam. Karena pada satu titik, aku melihat diri kecilku dalam perilaku itu. Dulu, aku anak yang “penurut”. Tidak pernah protes. Gampang diminta mengalah. Tidak pernah mengatakan “tidak” karena takut dibilang bandel. Tapi dalam diamku, aku sering merasa tak dianggap. Perasaanku terpendam, keinginanku dianggap sepele. Dan saat dewasa, aku pun sempat menjadi orang yang menyimpan banyak tuntutan diam-diam—dan akhirnya meledak dalam bentuk yang tidak sehat.

Dari situlah aku mulai memahami: kadang, anak yang terlihat egois bukan sedang melawan. Ia sedang belajar menjaga dirinya sendiri.

Mungkin, sejak kecil ia terlalu sering diminta mengalah. Disuruh sabar. Dilarang marah. Tidak diberi ruang untuk bilang “aku ingin”. Maka ketika akhirnya ia merasa punya sedikit kendali, ia mempertahankannya dengan cara keras. Seperti anak yang kelaparan, lalu menemukan makanan—ia tidak ingin berbagi, karena takut kehilangan lagi.

Aku belajar melihat “keegoisan” bukan sebagai keburukan, tapi sebagai sinyal. Sebuah pertanda bahwa anak butuh ruang untuk merasa cukup. Bahwa mungkin selama ini ia belum diajari bagaimana mengenali kebutuhannya, dan mengekspresikannya dengan cara yang sehat.

Karena kenyataannya, banyak dari kita—baik anak maupun orang dewasa—tak benar-benar diajarkan bagaimana menjaga diri sendiri tanpa melukai orang lain. Kita disuruh baik, tapi tidak diberi batas. Kita diminta peduli, tapi tak pernah ditanya apa yang sebenarnya kita rasakan.

Lalu ketika ada seseorang yang berani menomorsatukan dirinya, kita anggap ia egois. Padahal bisa jadi, itu adalah bentuk pertahanan karena terlalu lama diabaikan.

Aku pun mulai mengubah pendekatanku pada anak. Daripada langsung bilang, “Kamu jangan egois, dong,” aku mulai bertanya, “Kamu maunya apa?” atau, “Kamu merasa tidak suka karena apa?” Kadang, anak tidak langsung menjawab. Tapi dengan terus dibiasakan, ia mulai bisa menyebutkan keinginannya. Belajar mengenal dirinya sendiri.

Dan aku belajar untuk tidak langsung memaksanya berbagi. Aku beri waktu. Karena berbagi yang tulus hanya bisa datang dari rasa cukup. Anak yang merasa aman, dihargai, dan didengarkan, akan lebih mudah membuka diri.

Contohnya, saat anakku tidak mau meminjamkan mainannya ke temannya. Dulu, aku langsung berkata, “Kamu harus berbagi.” Tapi sekarang aku bilang, “Kamu belum siap meminjamkan? Nggak apa-apa. Tapi nanti setelah kamu selesai, yuk coba ditawarkan.”

Hasilnya? Ia lebih tenang. Tidak merasa ditekan. Dan anehnya, justru jadi lebih bersedia berbagi karena tahu ia punya kendali.

Mengasuh anak memang seringkali membuat kita harus berkaca pada cara kita dulu dibesarkan. Mungkin kita dulu diajari untuk selalu menomorsatukan orang lain. Dan ketika kita melihat anak melakukan sebaliknya, reaksi pertama kita adalah menolaknya. Padahal, bisa jadi itu justru sesuatu yang sehat—asalkan diarahkan dengan bijak.

Anak yang berani mengatakan “aku ingin” sejak kecil, sebenarnya punya bekal untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak mudah dimanfaatkan. Yang tahu apa yang ia butuhkan. Yang tidak kehilangan dirinya hanya demi menyenangkan orang lain.

Tentu saja, anak tetap perlu belajar bahwa hidup bukan hanya tentang dirinya. Tapi sebelum mereka bisa memahami itu, mereka harus merasa dirinya cukup penting untuk didengarkan. Mereka harus tahu bahwa keinginan mereka bukan hal yang salah. Bahwa mencintai diri sendiri tidak sama dengan melupakan orang lain.

Egois, dalam bentuk paling awalnya, sering kali adalah suara hati yang belum diajarkan cara bicara. Ia masih kasar, masih terburu-buru, masih penuh ketakutan. Tapi kalau kita sabar mendengarnya, perlahan ia bisa berubah menjadi bentuk cinta yang lebih matang—baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.

Sebagai orang tua, tugas kita bukan mematikan suara itu, tapi menolong anak mengenalnya. Membimbingnya agar tahu kapan harus berkata “ya” dan kapan harus berkata “tidak”. Memberi contoh bahwa menjaga diri sendiri dan peduli pada orang lain bisa berjalan beriringan.

Maka ketika anak kita terlihat egois, mari kita tahan sejenak untuk tidak langsung menghakimi. Mungkin di balik sikap itu, ada luka yang belum disembuhkan. Ada kebutuhan yang belum terpenuhi. Ada cerita lama yang tak pernah sempat ia ungkapkan.

Dan mungkin, tugas kitalah yang pertama-tama: memberi ruang untuk itu semua keluar—bukan untuk dibantah, tapi untuk didengarkan.

Karena anak yang belajar mencintai dirinya sendiri dengan sehat, kelak akan lebih mudah mencintai dunia dengan utuh.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *