Budaya Malu Bertanya Masih Mengakar: Saatnya Kita Ajarkan Bahwa Bertanya Itu Bukan Tanda Lemah, Tapi Tanda Tumbuh

Budaya Malu Bertanya Masih Dilanggengkan: Pengakuan Jujur dari Seseorang yang Dulu Takut Dibilang Bodoh (Bing Image AI)

Deskripsi :
Banyak dari kita tumbuh dengan rasa malu bertanya karena takut dibilang bodoh. Padahal, bertanya adalah tanda keberanian dan kunci pembelajaran. Saatnya ubah cara pandang kita dan anak-anak kita.

CHARACTER LEARNING – Saya masih ingat dengan jelas waktu duduk di bangku sekolah dulu—tepatnya saat pelajaran matematika kelas lima SD. Guru menjelaskan tentang pecahan desimal, dan saya benar-benar bingung. Tapi saya diam saja. Tidak berani angkat tangan, tidak berani bertanya.
Kenapa?
Karena saya takut dibilang bodoh. Takut ditertawakan. Takut teman-teman bilang, “Masa kayak gitu aja nggak ngerti?” Dan anehnya, perasaan seperti ini bukan hanya saya yang rasakan. Hampir semua teman saya pun begitu. Kami tumbuh dengan perasaan “malu bertanya” karena sistem dan lingkungan secara tidak sadar menciptakan suasana itu.
Kini setelah dewasa, saya sadar—ini bukan hanya soal tidak bertanya. Ini soal budaya. Budaya malu bertanya yang sudah mendarah daging.

Bertanya Dianggap Memalukan, Padahal Justru Itu Tanda Ingin Belajar
Bayangkan begini. Kita masuk ke sebuah ruang seminar atau diskusi publik. Setelah pemateri berbicara panjang lebar, moderator bilang, “Silakan kalau ada yang mau bertanya.” Lalu… hening.
Bukan karena semua sudah paham, tapi karena banyak dari kita takut bertanya. Takut terlihat kurang pintar. Takut pertanyaannya dianggap receh. Bahkan, kadang kita tidak bertanya karena takut mengganggu waktu orang lain.
Padahal, bertanya itu bentuk keberanian. Tanda bahwa kita sadar belum tahu, dan ingin tahu. Tapi mengapa justru itu yang sering dianggap memalukan?

Budaya Ini Terbentuk dari Lingkungan, Sekolah, dan Bahkan Keluarga
Saya tidak sedang menyalahkan siapa-siapa. Tapi mari jujur. Kadang orang tua terlalu cepat menyuruh diam saat anak banyak tanya. “Jangan banyak tanya, nanti malu orang dengar!” Atau, “Udah, ikuti aja, jangan protes!”
Guru di sekolah pun (meski tidak semua) kadang secara tidak sengaja menciptakan suasana yang membuat murid enggan bertanya. Misalnya, ketika guru berkata, “Masa ini aja nggak ngerti?” atau saat murid bertanya, malah dianggap mengganggu pelajaran.
Dari kecil, kita seperti dilatih untuk patuh, bukan kritis. Untuk mengikuti, bukan mencari tahu.

Dampaknya: Banyak Anak Tumbuh Jadi Orang Dewasa yang Takut Tanya, Takut Salah
Dampak budaya malu bertanya tidak main-main. Banyak orang dewasa yang akhirnya lebih memilih diam daripada berisiko dianggap “nggak tahu.” Di tempat kerja, mereka ragu bertanya ke atasan karena takut dinilai tidak kompeten. Di kampus, mahasiswa segan bertanya karena takut disindir dosen.
Padahal semua orang pernah tidak tahu. Dan justru dengan bertanya, kita bisa tahu.
Saya pernah menghadiri pelatihan guru, dan salah satu narasumber bilang begini:
“Siswa yang bertanya itu bukan mengganggu pelajaran. Mereka justru sedang belajar.”
Kalimat itu membekas. Sederhana, tapi mengubah banyak hal.

Bertanya adalah Hak, Bukan Aib
Bertanya bukan aib. Itu hak setiap orang. Dan lebih dari itu—bertanya adalah kekuatan.
Lihat saja para ilmuwan, penemu, atau tokoh besar dunia. Mereka tidak lahir dengan semua jawaban. Mereka besar karena punya pertanyaan—dan keberanian untuk mencari jawabannya.
Einstein pernah berkata, “Saya bukan orang yang punya bakat luar biasa. Saya hanya sangat ingin tahu.”
Lalu mengapa kita masih menganggap keingintahuan sebagai kelemahan?

Saatnya Ubah Cara Pandang, Mulai dari Diri Sendiri
Kalau saya bisa kembali ke masa kecil, saya ingin bilang ke diri saya yang kecil itu: “Nggak apa-apa kamu nggak tahu. Yang penting kamu mau cari tahu.”
Tapi waktu tidak bisa diputar. Maka yang bisa kita lakukan adalah mengubah cara kita sekarang—dan cara kita mendidik anak-anak kita nanti.
Mulailah dari hal kecil:
Saat anak bertanya, jangan buru-buru bilang “Jangan cerewet.”
Tahan diri kita untuk tidak langsung memotong, tapi dengarkan.
Kadang, anak hanya butuh didengar, bukan selalu dijawab.
Di kelas, di kantor, di forum manapun, biasakan memberi ruang untuk bertanya tanpa menghakimi.
Bila perlu, apresiasi mereka yang bertanya. Ucapkan: “Terima kasih pertanyaannya, ini penting,” walau terdengar sederhana.
Dan yang paling penting: tanamkan pada diri sendiri bahwa tidak tahu bukanlah kesalahan. Yang salah adalah berpura-pura tahu dan menolak belajar.

Bertanya: Jembatan dari Tidak Tahu Menjadi Tahu
Kita sering lupa, bahwa setiap orang besar pun pernah berada di posisi tidak tahu. Tidak ada yang langsung mengerti. Semua dimulai dari sebuah pertanyaan: “Kenapa?” “Bagaimana?” “Apa itu?”
Jadi, kalau hari ini kamu merasa ragu bertanya karena takut dianggap bodoh, ingatlah ini: Orang yang tidak bertanya tetap tidak tahu. Tapi orang yang bertanya—ia sedang tumbuh.

Penutup: Budaya Bisa Diubah, Asal Kita Mulai
Budaya malu bertanya memang sudah lama hidup di tengah kita. Tapi budaya bukan takdir. Ia bisa berubah. Dimulai dari satu orang yang berani mengangkat tangan dan bertanya.
Dan mungkin, orang itu adalah kamu.
Atau saya.
Atau anak-anak kita kelak.
Yang penting, kita mulai.

Catatan Akhir:
Jika kamu adalah guru, orang tua, mentor, atau siapa pun yang dekat dengan anak-anak, ingatlah: Kadang satu kalimat seperti, “Bagus pertanyaannya,” bisa jadi titik awal anak untuk berani tumbuh. Mari kita lahirkan generasi yang tidak malu bertanya—tapi bangga karena ingin tahu. Saatnya ubah cara pandang kita dan anak-anak kita.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *