“Aku Orang Tuamu!” — Tapi Apakah Itu Berarti Aku Tak Pernah Salah?

Minta maaflah pada anak kita, jika kita bersalah….
Saya tumbuh di lingkungan yang kerap kali menempatkan orang tua di posisi yang nyaris “maha benar”. Apa pun yang mereka lakukan, meskipun menyakitkan atau keliru, dianggap bagian dari kasih sayang. Tidak ada ruang untuk diskusi, apalagi untuk mendengar kalimat, “Maaf ya, tadi Mama salah.”
Saya tidak menyalahkan orang tua saya. Mereka juga tumbuh dalam pola asuh yang sama—di mana otoritas adalah segalanya, dan anak yang berani bertanya, apalagi mengoreksi, dianggap kurang ajar. Tapi ketika saya sendiri menjadi orang tua, saya mulai melihat sesuatu yang dulu tak sempat saya pahami: bahwa tidak meminta maaf saat salah, perlahan-lahan menciptakan jarak yang dalam antara orang tua dan anak.
Anak-Anak Itu Ingat
Saya masih ingat saat kecil pernah dimarahi karena dianggap memecahkan gelas. Padahal, saya tahu betul yang menjatuhkannya adalah kucing yang lompat ke meja. Tapi saya tidak berani bicara. Karena saya tahu, tidak akan dipercaya. Dan saya tahu, tidak akan ada permintaan maaf sekalipun saya akhirnya terbukti benar.
Mungkin bagi orang tua, itu hanya momen sepele yang berlalu. Tapi bagi saya kecil, itu meninggalkan satu bekas: “Bersuara pun percuma. Lebih baik diam.”
Kini, setelah menjadi orang tua, saya sadar: anak-anak mungkin tidak mengungkapkan, tapi mereka mengingat. Dan setiap ketidakadilan kecil yang tidak diklarifikasi, setiap kesalahan orang tua yang tidak pernah diakui, perlahan menjadi jarak emosional yang sulit dijembatani.
Mengapa Sulit Meminta Maaf?
Saya juga pernah ada di posisi itu. Sudah tahu bahwa saya salah memarahi anak, tapi diam saja. Ego saya bilang, “Ah, itu cuma salah paham kecil.” Ada suara lain yang berbisik, “Nanti anak jadi besar kepala kalau kita minta maaf.”
Padahal, yang saya khawatirkan bukan anak saya menjadi besar kepala—tapi saya takut kehilangan otoritas. Takut dianggap lemah. Takut tak dihormati.
Tapi kemudian saya bertanya: apa yang saya ingin anak saya pelajari dari saya? Bahwa orang dewasa tidak bisa salah? Bahwa kalau kita lebih tua, kita bebas menyakiti tanpa tanggung jawab?
Atau saya ingin anak saya tumbuh menjadi seseorang yang tahu bahwa menyadari kesalahan dan meminta maaf itu bukan kelemahan, tapi kekuatan?
Ketika Saya Mulai Belajar Minta Maaf
Satu hari, saya benar-benar marah karena anak saya menjatuhkan vas bunga. Saya marah besar, padahal ternyata itu bukan karena ceroboh—ia sedang menolong adiknya yang jatuh. Saat tahu kebenarannya, saya duduk, tarik napas panjang, dan saya minta maaf. “Maaf ya, tadi Mama terlalu cepat marah. Mama salah paham.”
Ia melihat saya dengan mata yang agak bingung, lalu pelan-pelan tersenyum. Dan yang terjadi setelah itu mengejutkan saya: ia memeluk saya.
Ternyata tidak ada kehilangan otoritas. Yang ada justru kedekatan. Kepercayaan. Anak saya tahu, ia tidak harus sempurna untuk dicintai, dan saya pun tidak harus sempurna untuk dihormati.
Meminta Maaf Bukan Melepas Peran, Tapi Memperkuat Hubungan
Orang tua tetaplah orang tua. Tapi menjadi orang tua tidak membuat kita kebal dari kesalahan. Kita juga manusia. Dan justru karena kita manusia, anak-anak bisa belajar dari cara kita menangani kesalahan.
Meminta maaf tidak membuat kita kehilangan wibawa. Sebaliknya, itu menunjukkan integritas. Itu menunjukkan bahwa kita juga punya empati. Bahwa hubungan dengan anak bukan soal “siapa benar siapa salah,” tapi soal saling percaya, saling belajar, dan saling bertumbuh.
Anak-anak yang sering melihat orang tuanya bisa meminta maaf, akan tumbuh dengan pemahaman bahwa:
- Meminta maaf tidak membuat harga diri hilang
- Kesalahan itu bagian dari proses belajar
- Hubungan bisa diperbaiki, asalkan ada kejujuran dan kerendahan hati
Kalau Hari Ini Terlambat, Besok Masih Ada Kesempatan
Saya tahu, tidak mudah. Mungkin sebagian dari kita sudah bertahun-tahun tidak pernah minta maaf ke anak. Mungkin anak kita sudah remaja, atau bahkan sudah dewasa. Tapi saya percaya, tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai komunikasi yang sehat.
Jika hari ini terasa berat untuk berkata, “Maaf ya, dulu Mama sering terlalu keras,” mungkin kita bisa memulainya dengan percakapan ringan. Kita bisa mulai dengan, “Waktu kamu kecil, Mama masih banyak belajar jadi orang tua. Mungkin ada banyak hal yang membuat kamu terluka. Kalau iya, Mama minta maaf ya.”
Kadang, satu kalimat itu bisa membuka banyak pintu yang selama ini tertutup.
Menjadi Orang Tua yang Mau Belajar
Menjadi orang tua bukan tentang menjadi benar sepanjang waktu. Tapi tentang menjadi cukup rendah hati untuk terus belajar, termasuk dari anak-anak kita sendiri. Dan salah satu pelajaran terbesar yang bisa kita wariskan adalah: berani mengakui salah dan memperbaikinya.
Karena pada akhirnya, anak-anak kita tidak hanya meniru apa yang kita katakan—mereka meniru siapa kita saat kita dalam posisi paling rentan.
Dan saat kita berani mengatakan, “Maaf, Nak, tadi Ibu salah,” kita sedang mengajarkan mereka sebuah pelajaran yang tidak akan mereka dapatkan dari buku mana pun: bahwa cinta, kejujuran, dan keberanian bisa hidup berdampingan.[*]