Ajarkan Anak Bersyukur, Bukan Membandingkan: Karena Damai Diri Tumbuh Saat Ia Tak Merasa Harus Jadi Orang Lain

Deskripsi :
Anak yang tak dibanding-bandingkan tumbuh jadi pribadi yang lebih utuh. Ia tahu cara bersyukur atas dirinya sendiri, tanpa merasa harus selalu menjadi versi orang lain.
CHARACTER LEARNING – Aku tidak ingat pasti kapan pertama kali dibandingkan dengan anak orang lain. Mungkin waktu aku pulang sekolah dan nilai Matematikaku lebih rendah dari sepupuku. Atau saat ibuku bilang, “Lihat tuh si A, sudah bisa bantu ibunya di rumah. Kamu kapan?”
Dan sejak saat itu, tanpa sadar, aku tumbuh dengan satu keyakinan: aku harus menjadi seperti orang lain, agar bisa dibanggakan.
Luka yang Terbungkus Nasehat
Yang aneh, kalimat-kalimat perbandingan itu sering dibungkus dalam bentuk nasehat. Seolah niatnya baik. Tapi rasanya tetap menyesakkan.
Aku pun sempat berpikir, membandingkan itu wajar. Bahkan perlu. Agar anak termotivasi. Agar dia tidak santai.
Sampai aku menjadi orang tua, dan suatu hari aku mendengar anakku berkata, “Aku nggak sepintar temanku, jadi aku nggak mungkin bisa dapat nilai bagus.”
Itu seperti tamparan. Karena kalimat itu tidak datang dari sekolah. Bukan dari temannya. Tapi dari rumah. Dari aku. Dari kami yang tanpa sadar sering berkata, “Lihat tuh temenmu, dia bisa kok. Masak kamu nggak bisa?”
Anak yang Dibandingkan, Akan Selalu Merasa Kurang
Ketika kita membandingkan anak dengan orang lain, sesungguhnya kita sedang mengajarkannya untuk mengabaikan dirinya sendiri. Kita mengirimkan pesan bahwa: menjadi dirinya tidak cukup.
Mungkin maksud kita baik. Kita ingin dia lebih baik. Tapi caranya sering kali melukai. Karena perbandingan yang terus-menerus tidak membuat anak berkembang—justru membuatnya kehilangan arah.
Ia mulai menilai dirinya dari apa yang tidak ia miliki. Bukan dari apa yang sudah ia punya.
Bersyukur Bukan Soal Pasrah, Tapi Soal Damai dengan Diri
Pernahkah kita bertanya, bagaimana rasanya tumbuh tanpa pernah merasa cukup?
Anak-anak yang terus dibandingkan, akan tumbuh menjadi remaja yang tidak pernah puas. Dewasa yang mudah iri. Orang tua yang mewariskan luka yang sama.
Padahal, kebahagiaan tidak pernah lahir dari perasaan kurang. Kebahagiaan lahir dari rasa cukup. Dari syukur.
Bersyukur bukan berarti berhenti belajar. Tapi tahu bahwa yang ia miliki saat ini pun sudah layak disyukuri.
Dan anak tidak bisa belajar syukur dari teori. Ia belajar dari sikap orang tuanya:
- Saat kita bisa memuji usahanya, bukan hanya hasilnya.
- Saat kita bisa menghargai keunikan karakternya, bukan memaksanya menjadi seperti si A atau si B.
- Saat kita hadir dan berkata, “Nggak apa-apa kamu belum seperti mereka. Kamu punya kelebihanmu sendiri.”
Setiap Anak Punya Musimnya
Ada anak yang cepat tangkap di pelajaran. Ada yang baru bersinar di seni. Ada yang menonjol di olahraga. Ada pula yang diam-diam tapi tekun.
Tugas kita bukan menyeragamkan, tapi menemani proses tumbuhnya.
Sama seperti bunga. Mawar tidak mekar bersamaan dengan melati. Tapi keduanya tetap indah—dengan waktunya sendiri.
Anak pun begitu. Ia tidak harus jadi siapa-siapa. Ia hanya perlu jadi dirinya. Dan rumah adalah tempat ia belajar bahwa jadi diri sendiri itu cukup.
Orang Tua yang Damai, Akan Menumbuhkan Anak yang Damai
Aku belajar, bahwa sering kali kita membandingkan anak bukan karena ia kurang. Tapi karena kita sebagai orang tua merasa kurang.
Kita merasa gagal. Kita takut tertinggal. Kita cemas jika anak orang lain lebih unggul. Maka tanpa sadar, kita dorong anak kita untuk “mengejar” versi yang bukan dirinya.
Padahal yang anak butuh bukan kehebatan, tapi kedamaian dalam menerima dirinya. Dan itu dimulai dari kita. Saat kita bisa bilang dalam hati,
“Anakku bukan siapa-siapa, tapi ia berharga. Ia tak harus seperti orang lain untuk layak dibanggakan.”
Ajarkan Anak Melihat Dirinya Sendiri, Bukan Melihat ke Atas Terus
Terlalu sering membandingkan membuat anak hanya tahu melihat ke atas. Ke orang yang lebih hebat. Lebih pintar. Lebih populer. Dan akhirnya, ia lupa melihat ke dalam dirinya sendiri.
Ia lupa bahwa ia punya kebaikan hati. Punya keberanian. Punya daya tahan. Punya ketulusan. Punya hal-hal kecil yang justru membentuk jati dirinya.
Anak yang tahu cara bersyukur akan lebih stabil emosinya. Ia tak mudah goyah. Tak mudah iri. Karena ia tahu, dirinya sendiri pun sudah layak dihargai.
Bukan Tidak Boleh Mencontoh, Tapi Jangan Bandingkan Habis-Habisan
Mencontoh yang baik tentu perlu. Tapi membandingkan secara terus-menerus hanya akan memupus harapan anak.
Lebih baik katakan:
- “Temanmu bagus ya, bisa jadi inspirasi. Tapi kamu juga hebat di bidang yang lain.”
- “Kamu belum bisa di pelajaran ini, tapi kamu sabar dan telaten. Itu nilai penting juga, lho.”
Anak yang dibesarkan dengan pendekatan seperti ini akan merasa lebih dihargai sebagai pribadi, bukan hanya sebagai pembanding.
Penutup: Anak Tak Butuh Dibandingkan, Ia Butuh Dipahami
Hari ini, aku banyak merenung. Tentang betapa rapuhnya hati anak saat dibandingkan. Tentang bagaimana kalimat-kalimat kecil bisa membentuk cara pandangnya terhadap diri sendiri.
Aku belajar bahwa tugas kita bukan memaksa anak mengejar bayangan orang lain, tapi membantu anak mengenali cahayanya sendiri.
Agar ia tahu:
- Ia tidak harus jadi siapa-siapa.
- Ia cukup.
- Ia dicintai.
- Ia tidak sendirian.
Mungkin, di dunia yang selalu mengajarkan untuk bersaing, rumah adalah satu-satunya tempat yang bisa mengajarkan anak untuk bersyukur menjadi dirinya sendiri. Dan itu jauh lebih berharga dari sekadar menjadi yang terbaik.[*]