“Apa yang Kamu Rasakan?” — Kalimat Sederhana yang Dulu Tak Pernah Aku Dengar

Saya tidak tumbuh dengan pertanyaan itu. Tidak pernah ada yang bertanya, “Apa yang kamu rasakan?” ketika saya sedang menangis. Tidak ada yang duduk di samping saya dan bertanya dengan lembut, “Kamu sedih ya? Kenapa?” Kalau menangis, biasanya malah dimarahi: “Udah, jangan cengeng!” atau “Gitu aja kok nangis!”
Dulu saya pikir itu biasa. Saya pikir memang begitu cara hidup berjalan. Tapi semakin saya dewasa, dan lebih lagi ketika saya menjadi orang tua, saya mulai merasa ada sesuatu yang hilang. Ada ruang dalam diri saya yang kosong. Ruang itu bernama validasi perasaan.
Belajar Memahami, Bukan Memperbaiki
Saya sadar, banyak dari kita dibesarkan dengan pola pikir bahwa anak-anak belum bisa punya perasaan yang “serius”. Kalau anak marah, dianggap manja. Kalau kecewa, dianggap lebay. Kalau takut, dianggap penakut. Kita lebih sibuk memperbaiki perilaku anak, tanpa pernah menanyakan kenapa mereka bersikap seperti itu.
Saya pernah mengalami sendiri. Suatu malam, anak saya (usia 6 tahun) menolak tidur sendiri. Ia bilang kamar gelap dan menyeramkan. Insting pertama saya adalah berkata, “Ah, masa sih? Udah ah, gak usah lebay.”
Tapi saya tahan. Saya duduk di sampingnya, lalu saya coba bertanya, dengan lembut, “Kamu takut, ya? Ceritain dong, kamu takutnya kenapa?” Dan pelan-pelan, ia bercerita soal mimpi buruk, tentang bayangan di sudut kamar, tentang suara-suara yang menurutnya menyeramkan. Bagi saya mungkin sepele, tapi bagi dia, itu nyata. Dan saat saya mendengarkannya tanpa menghakimi, wajahnya mulai tenang. Dia merasa aman. Dia merasa dimengerti.
Dan saya baru sadar—betapa jarangnya saya benar-benar mendengarkan perasaannya.
Anak-anak Juga Punya Dunia Emosinya Sendiri
Kita sering lupa bahwa anak-anak bukan versi kecil dari orang dewasa. Mereka belum tahu cara menamai perasaannya. Kadang mereka menangis bukan karena cengeng, tapi karena belum bisa berkata “aku kecewa”. Kadang mereka marah bukan karena nakal, tapi karena belum tahu cara berkata “aku merasa tidak adil.”
Kalau kita tidak pernah bertanya, “Apa yang kamu rasakan?”, mereka akan belajar untuk tidak mengenali perasaannya sendiri. Mereka tumbuh bingung tentang dunia batinnya. Dan lebih parah lagi, mereka bisa tumbuh jadi orang dewasa yang tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kesedihan atau mengakui ketakutan.
Saya tahu ini bukan hal yang mudah. Kita sendiri mungkin tidak pernah diajari untuk peduli pada perasaan kita, apalagi orang lain. Tapi inilah tantangan dan kesempatan menjadi orang tua hari ini: memutus rantai yang dulu mengekang kita, dan menciptakan ruang yang lebih aman bagi generasi setelah kita.
Pertanyaan yang Membuka Pintu Kedekatan
Saya mulai belajar untuk lebih sering bertanya:
- “Kamu kesal ya? Mau cerita?”
- “Sedih gak waktu tadi kamu dimarahi?”
- “Senang gak pas kamu main sama teman baru?”
- “Kamu bingung ya, waktu itu?”
Awalnya canggung. Bahkan anak saya sempat bengong karena mungkin tidak terbiasa ditanya seperti itu. Tapi lama-lama, ia mulai terbuka. Ternyata anak-anak tidak butuh solusi instan. Mereka hanya butuh didengarkan tanpa diinterupsi. Tanpa buru-buru dihakimi. Tanpa disalahkan.
Dan tahu tidak? Pertanyaan sederhana itu ternyata membuka banyak hal yang tidak saya sangka. Dari cerita soal teman yang suka mengejek, sampai rasa takut kalah saat lomba. Semua itu tidak akan keluar kalau saya tidak membuka pintunya.
Menumbuhkan Anak yang Melek Emosi
Saat kita bertanya “apa yang kamu rasakan?”, kita sebenarnya sedang membantu anak belajar:
- Mengenali emosinya
- Menamai perasaannya
- Menyadari bahwa perasaannya valid
- Belajar empati, karena ia pun tahu orang lain punya perasaan
Anak-anak yang terbiasa diajak bicara soal perasaan akan lebih siap menghadapi konflik, lebih empatik terhadap sesama, dan lebih mudah membangun hubungan yang sehat di masa depan.
Mereka tidak tumbuh jadi anak yang menekan perasaannya sendiri hanya agar terlihat “kuat”. Mereka akan tahu bahwa kuat itu bukan berarti tidak pernah menangis, tapi tahu kapan harus bicara dan mencari bantuan.
Kita Pun Bisa Mulai dari Sekarang
Kalau kamu, seperti saya, juga tidak terbiasa menanyakan atau ditanyakan soal perasaan sejak kecil—tenang, kita masih bisa belajar. Bahkan jika anakmu sudah remaja, atau mungkin sudah dewasa, kamu masih bisa memulai dengan sebuah pertanyaan lembut: “Dulu waktu itu, kamu sebenarnya merasa apa, sih?”
Kalimat kecil yang bisa jadi membuka pintu dialog yang selama ini terkunci.
Tidak ada orang tua yang sempurna. Tapi menjadi orang tua bukan soal menjadi serba benar—melainkan tentang terus membuka ruang untuk bertumbuh bersama.
Dan kadang, pertumbuhan itu dimulai dari keberanian untuk bertanya satu hal kecil yang selama ini sering terlewat:
“Apa yang kamu rasakan?”[*]