Berani Melepas Konsep Tuhan: Mencintai-Nya Bukan Karena Pemberian-Nya, Tapi Karena Dia adalah Dia

Deskripsi :
Kadang kita tak benar-benar menyembah Tuhan, tapi menyembah harapan dan gambaran kita sendiri tentang-Nya. Dalam tasawuf, cinta sejati dimulai saat ilusi tentang Tuhan kita lepaskan sepenuhnya.
CHARACTER LEARNING – Ada satu pertanyaan yang pernah menghantam saya begitu dalam:
“Apakah kamu benar-benar mencintai Tuhan, atau hanya mencintai apa yang kamu harapkan dari-Nya?”
Pertanyaan itu muncul di tengah kekecewaan yang sunyi. Saat doa yang saya panjatkan tidak terkabul. Saat harapan saya kandas. Saat hidup terasa begitu jauh dari narasi indah yang saya kira akan Tuhan tuliskan untuk saya. Dan di titik itulah, saya mulai sadar:
Mungkin selama ini saya tidak benar-benar menyembah Tuhan. Saya menyembah gambaran saya tentang Tuhan.
Konsep Tuhan yang Kita Bangun Sendiri
Tanpa sadar, kita semua membangun bayangan dalam benak kita: bahwa Tuhan itu seperti ini, harus begitu, harus menjawab ini, harus membalas itu. Kita menciptakan “konsep Tuhan” yang nyaman untuk kita percaya.
Tuhan yang pasti mengabulkan doa.
Tuhan yang memberi rezeki melimpah kalau kita rajin ibadah.
Tuhan yang pasti menyelamatkan kita dari semua luka kalau kita sabar.
Dan ketika kenyataan tidak seindah konsep itu, hati kita goyah. Iman kita goyah. Kita mulai bertanya-tanya:
“Kenapa doaku belum dikabulkan?”
“Apakah aku kurang ibadah?”
“Apa Tuhan sedang marah padaku?”
Padahal mungkin bukan Tuhan yang salah. Mungkin yang salah adalah konsep tentang Tuhan yang kita bentuk—yang begitu sempit, transaksional, dan egoistik.
Belajar Mencintai Tuhan Karena Dia adalah Dia
Dalam tasawuf, ada pelajaran yang sangat menampar jiwa: bahwa cinta sejati kepada Tuhan adalah mencintai-Nya tanpa syarat. Bukan karena balasan, bukan karena surga, bukan karena ingin terhindar dari neraka. Tapi karena Dia adalah Dia.
Syekh Ibnu Atha’illah pernah berkata:
“Jangan sampai engkau mencintai Allah karena apa yang Dia berikan kepadamu, tapi cintailah Dia karena siapa Dia sebenarnya.”
Itulah cinta yang telah melepaskan konsep. Yang tidak lagi terikat pada ilusi dan harapan manusiawi. Cinta yang murni.
Berpisah dengan Tuhan yang Kita Ciptakan Sendiri
Proses ini bukan mudah. Melepaskan konsep Tuhan yang kita bentuk selama bertahun-tahun bisa terasa seperti kehilangan arah. Bahkan seperti kehilangan Tuhan itu sendiri.
Kita mulai merasa kosong. Doa tidak lagi terasa berbunga. Ibadah tidak lagi penuh harapan duniawi. Tapi justru di situ, jiwa kita sedang disucikan dari pamrih. Dari syarat. Dari syahwat spiritual yang ingin mendapatkan balasan.
Saya pernah berada di titik ini. Ketika saya tidak tahu lagi harus berharap apa. Semua doa rasanya telah dilantunkan, tapi hidup tetap sama. Bahkan semakin berat. Sampai akhirnya saya duduk diam dan berkata dalam hati:
“Ya Allah, kalaupun Engkau tidak memberi apa-apa lagi padaku… aku akan tetap mencintai-Mu.”
Dan anehnya, justru di saat itu, saya merasa benar-benar dekat dengan-Nya. Bukan karena saya mendapat sesuatu, tapi karena saya tak lagi menuntut apa-apa.
Tuhan Tidak Harus Bisa Dipahami
Ini bagian yang paling menantang bagi akal manusia. Kita ingin memahami Tuhan. Kita ingin tahu rencana-Nya. Kita ingin logika kita bisa menjangkau cara-Nya bekerja.
Tapi Tuhan bukan manusia. Dia bukan konsep. Bukan rumus.
Dia adalah kehadiran yang tak terdefinisi. Yang melampaui logika, harapan, dan narasi kita.
Kadang, saat kita mencoba “memahami” Tuhan terlalu jauh, kita malah jatuh ke dalam perangkap membuat versi Tuhan menurut selera kita sendiri. Dan itu bukan ibadah. Itu bukan tauhid. Itu penciptaan ilusi spiritual.
Tasawuf mengajak kita bukan untuk memahami Tuhan, tapi untuk mencintai dan tenggelam dalam kehadiran-Nya. Bahkan jika akal kita tak mengerti. Bahkan jika hidup tidak seperti yang kita inginkan.
Melepaskan Tuhan Transaksional
Kita terbiasa berpikir:
“Aku shalat supaya dilancarkan rezeki.”
“Aku berzikir supaya hatiku tenang.”
“Aku sedekah supaya dapat balasan lebih.”
Padahal ibadah seharusnya bukan alat. Bukan transaksi. Tapi bentuk cinta, rindu, dan keterhubungan kita pada Yang Maha Segalanya.
Tentu tidak salah berharap pada kebaikan Allah. Tapi saat satu-satunya alasan kita mendekat adalah karena ingin “sesuatu”, maka kita belum mencintai-Nya… kita masih mencintai diri kita sendiri.
Menemukan Tuhan yang Sebenarnya
Tuhan yang sebenarnya tak selalu menjawab doa seperti keinginan kita, tapi selalu hadir dalam keheningan hati kita.
Tuhan yang sebenarnya tak bisa diringkus dalam teori atau kata-kata, tapi bisa kita rasakan dalam sujud yang hening dan ikhlas.
Tuhan yang sebenarnya adalah Dia yang tetap layak dicintai meski dunia kita runtuh.
Saya perlahan belajar: bahwa Tuhan tidak pernah menjauh. Yang menjauh adalah saya sendiri—saat saya terlalu sibuk menyembah “Tuhan versi saya”, bukan Tuhan yang sebenarnya.
Penutup: Doa Seorang yang Ingin Mengenal-Nya Apa Adanya
Ya Allah,
lepaskan aku dari konsep tentang-Mu yang selama ini hanya buatan pikiranku.
Tanggalkan topeng-topeng ilusi yang kuletakkan pada wajah-Mu.
Ajari aku mencintai-Mu karena Engkau adalah Engkau.
Bukan karena rezeki, bukan karena kemudahan, bukan karena surga.
Tapi karena tak ada satu pun selain Engkau yang layak dicinta sepenuhnya.
Jika aku harus kehilangan semua gambaran tentang-Mu,
tapi akhirnya bisa benar-benar mengenal-Mu,
maka jadikan itu jalan yang kutempuh.
Meski sunyi. Meski sakit.
Asal Engkau tetap bersamaku.[*]