Kekerasan Verbal dan Mental Masih Dianggap Biasa di Kelas: Saatnya Kita Tidak Menormalkan Luka yang Tak Terlihat

Deskripsi :
Di banyak ruang kelas, kekerasan verbal dan mental masih dianggap hal lumrah. Padahal, luka yang ditinggalkan tak terlihat—tapi membekas hingga dewasa. Sudah waktunya kita buka mata dan hati.


CHARACTER LEARNING – Saya ingin bercerita—bukan sebagai ahli pendidikan, bukan sebagai pengamat, tapi sebagai seseorang yang pernah duduk diam di bangku sekolah dan merasakan bagaimana kata-kata bisa lebih tajam dari pelajaran matematika yang rumit.

Saya pernah jadi anak yang takut ditunjuk guru. Bukan karena tidak belajar, tapi karena takut salah jawab. Karena kalau salah, suara guru bisa meninggi. “Kamu ini sebenarnya belajar atau tidak?” Kalimat itu terasa seperti cambuk di depan teman-teman satu kelas. Mereka tertawa kecil, saya hanya menunduk.

Itu bukan satu-satunya. Saya juga pernah melihat teman saya yang terus-menerus disebut “anak malas”, padahal ia punya masalah di rumah yang tidak diketahui siapa pun. Dan satu kalimat itu membuatnya makin enggan datang ke sekolah.

Dan sayangnya, itu dianggap biasa.


Luka Tak Terlihat, Tapi Membekas

Kekerasan verbal dan mental itu tak meninggalkan memar di kulit, tapi menyisakan perih yang sulit sembuh. Ia masuk ke dalam kepala, menetap di hati, dan pelan-pelan membentuk kepercayaan diri yang rapuh.

Dulu saya kira hanya saya yang merasa begini. Tapi makin banyak saya bicara dengan teman-teman lama, makin saya sadar—banyak dari kita punya kenangan serupa: dimarahi di depan kelas, dijuluki nama tertentu oleh guru, atau dikucilkan karena pendapat yang berbeda.

Dan semua itu… dianggap biasa.


“Namanya juga guru, wajar kalau marah.”

Kalimat seperti ini sering jadi pembelaan. Tapi mari kita jujur: Apakah benar kemarahan yang melukai mental anak itu wajar? Apakah mempermalukan murid di depan kelas bisa dibenarkan atas nama “mendidik”?

Saya percaya guru punya beban berat. Menghadapi banyak anak dengan latar belakang dan sikap yang beragam tentu tidak mudah. Tapi kekerasan, sekecil apa pun bentuknya, tetaplah kekerasan. Baik itu fisik, verbal, atau emosional.

Dan ketika bentuk kekerasan itu terjadi terus-menerus, lalu dianggap bagian dari “proses belajar”, kita sedang membiarkan anak-anak tumbuh dengan luka yang mereka anggap wajar. Padahal itu tidak.


Anak-Anak Tak Butuh Ditakuti, Mereka Butuh Dipahami

Anak-anak adalah manusia kecil yang sedang mencari jati diri. Mereka akan lebih banyak salah daripada benar, lebih banyak ribut daripada duduk manis. Tapi bukan karena mereka nakal, melainkan karena mereka sedang belajar.

Dan saat mereka salah, yang mereka butuhkan bukan bentakan atau label buruk. Tapi pemahaman. Pendampingan. Kadang hanya dengan bertanya lembut, “Kamu kenapa hari ini?” sudah cukup untuk membuka percakapan yang menyelamatkan jiwa.


Mengapa Kekerasan Verbal Sulit Dikenali?

Karena tidak semua orang sadar bahwa kata-kata bisa menyakitkan. Apalagi jika kita dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap celaan adalah bentuk perhatian, atau bahwa “keras itu cara agar mereka disiplin.”

Contohnya kalimat seperti:

  • “Dasar bodoh.”
  • “Kamu ini bikin malu orang tua.”
  • “Kamu pasti nggak akan jadi apa-apa.”

Kalimat ini mungkin diucapkan dengan maksud agar anak sadar, tapi yang sering terjadi: anak malah merasa tidak berharga. Ia belajar bahwa nilainya hanya diukur dari prestasi, bukan dari usahanya.


Sekolah Seharusnya Jadi Ruang Aman, Bukan Tempat Takut

Saya pernah berbicara dengan seorang murid SMP. Ia bilang, “Saya lebih takut ke sekolah daripada tinggal di rumah yang sempit.” Ketika saya tanya kenapa, ia menjawab, “Karena di sekolah saya bisa dimarahi, dibentak, dan disindir, kapan saja.”

Kalimat itu membuat saya diam lama. Karena sekolah, yang seharusnya menjadi tempat tumbuh, malah jadi tempat yang menekan. Ruang kelas, yang semestinya penuh pertanyaan, malah jadi tempat yang membuat anak enggan bicara.


Kita Tidak Sedang Menyalahkan Guru, Tapi Mengajak Melihat Ulang

Tulisan ini bukan untuk menyudutkan para guru. Justru saya percaya—guru adalah salah satu profesi paling penting dan mulia di dunia. Tapi penting juga diingat, bahwa menjadi pendidik bukan hanya soal menyampaikan ilmu, tapi juga menciptakan ruang aman untuk bertumbuh.

Kita semua pernah punya guru yang membekas di hati karena kelembutannya. Yang mengajarkan kita bukan dengan suara tinggi, tapi dengan kesabaran. Dan kita juga mungkin punya pengalaman sebaliknya.

Kini, saatnya kita belajar dari keduanya.


Luka Masa Lalu Jangan Diteruskan

Banyak dari kita mungkin pernah mengalami kekerasan verbal atau mental saat sekolah dulu. Tapi itu tidak berarti kita harus meneruskannya ke generasi berikutnya.

Anak-anak masa kini hidup di dunia yang jauh lebih kompleks dan menantang. Mereka butuh lebih banyak empati, bukan tekanan. Mereka butuh kehangatan, bukan rasa takut.

Dan itu bisa dimulai dari satu perubahan kecil: mengubah cara kita bicara.


Kalimat yang Bisa Menyembuhkan

Coba bayangkan jika seorang guru berkata:

  • “Saya tahu kamu belum paham, tapi kita belajar pelan-pelan, ya.”
  • “Kalau kamu lelah, nggak apa-apa istirahat dulu sebentar.”
  • “Saya percaya kamu bisa lebih baik, ayo kita cari cara bareng-bareng.”

Kalimat seperti ini mungkin sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Bisa membuat anak merasa dihargai. Bisa mengubah hari mereka. Bahkan bisa menyembuhkan luka lama yang diam-diam mereka bawa.


Penutup: Pendidikan Adalah Tentang Hati

Pendidikan sejatinya bukan hanya soal kurikulum, nilai ujian, atau target kelulusan. Tapi tentang proses memanusiakan manusia.

Dan manusia—khususnya anak-anak—bisa tumbuh subur bukan karena ketakutan, tapi karena kasih sayang. Bukan karena ancaman, tapi karena perhatian.

Jadi kalau hari ini kita masih melihat kekerasan verbal atau mental dianggap biasa di ruang kelas, mari kita buka mata dan hati. Karena luka yang dianggap sepele bisa jadi alasan mengapa seorang anak kehilangan semangat hidupnya di masa depan.

Mari mulai ubah budaya ini. Bukan dengan marah, tapi dengan sadar. Bukan dengan menyalahkan, tapi dengan mengajak.

Karena perubahan besar selalu dimulai dari keberanian kecil: berani berkata bahwa ini tidak lagi boleh jadi hal yang biasa.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *