Mengizinkan Anak Kita Berbeda dari Kita

Saya pernah berharap anak saya mirip saya. Sederhana saja, mungkin karena saya merasa sudah cukup baik sebagai manusia. Saya tidak pernah membuat masalah besar, saya tidak terlalu mengecewakan orang tua, dan saya punya nilai-nilai yang saya anggap benar. Jadi ketika anak saya mulai menunjukkan sisi yang sangat berbeda dari saya, saya sempat panik. Mungkin bukan panik, tapi lebih kepada gelisah, khawatir, bahkan kecewa.
Tapi hari demi hari, saya belajar bahwa menjadi orang tua ternyata bukan tentang mencetak ulang versi kita yang lebih baik. Kadang justru tentang merelakan “diri kita” tidak diulang sama sekali.
Saya tipe orang yang tenang dan suka menyendiri, sementara anak saya sangat ekspresif, mudah tertawa, dan ingin selalu berada di tengah orang. Saya suka membaca buku dalam sunyi, dia lebih suka bergerak ke sana kemari sambil mendengarkan musik keras. Dulu saya rajin belajar, dia lebih suka menggambar dan merakit sesuatu yang tak jelas bentuknya.
Lama saya mencoba membujuk, membentuk, bahkan memaksa agar dia jadi lebih “seperti saya”. Saya pikir itu tugas saya. Tapi ternyata yang saya tanamkan bukan cinta, melainkan rasa tidak cukup. Rasa bahwa dirinya yang sekarang belum cukup baik, belum cukup benar, belum cukup sesuai.
Hingga akhirnya saya duduk dalam diam, dan bertanya pada diri sendiri: apakah saya ingin anak saya menjadi versi terbaik dari dirinya, atau hanya salinan dari saya?
Menerima bahwa anak kita berbeda dari kita bukan perkara mudah. Apalagi jika kita merasa telah mengalami banyak luka atau kekurangan dalam hidup dan berharap anak tidak perlu mengalaminya. Maka kita membentuk pagar, membuat jalur, menyusun arah berdasarkan peta hidup kita sendiri, dan berharap mereka tidak keluar dari sana.
Padahal anak kita lahir di zaman yang berbeda. Dunia mereka bukan dunia kita. Tantangan mereka bukan tantangan kita. Kegelisahan mereka pun tak selalu kita pahami. Maka ukuran baik atau buruk menurut kita, belum tentu relevan dalam kehidupan mereka.
Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang anaknya memilih kuliah seni, padahal sang ayah seorang insinyur. Sang ayah awalnya menolak, bahkan marah. Tapi setelah melewati banyak percakapan, dia sadar: anaknya mencintai seni dengan tulus, dan itu membuatnya hidup. “Akhirnya saya izinkan dia jadi dirinya sendiri,” katanya. “Bukan karena saya menyerah, tapi karena saya sadar: cinta itu melepaskan, bukan menyeragamkan.”
Dan saya mengerti itu. Butuh waktu. Butuh keberanian untuk mengatakan dalam hati, “Nak, kau tidak harus menjadi seperti ayah atau ibumu. Jadilah dirimu, dan itu cukup.”
Kadang kita lupa bahwa anak kita bukan proyek yang harus berhasil. Dia bukan prestasi yang akan kita banggakan di depan orang. Anak kita adalah manusia. Titipan yang dipercayakan Tuhan, bukan untuk kita bentuk sesuka hati, tapi untuk kita jaga agar ia tumbuh sesuai jiwanya.
Mengizinkan anak berbeda dari kita bukan berarti membiarkan dia semaunya. Tapi itu tentang mendampingi mereka tumbuh dalam jalur yang sesuai dengan fitrah mereka. Memahami apa yang membuat mata mereka berbinar. Mengerti ke mana jiwa mereka tertarik. Mendukung meski arah mereka tak selalu sesuai harapan kita.
Saya ingat sebuah kisah di masa kecil saya. Saat saya ingin belajar bermain piano, ayah saya berkata, “Untuk apa? Itu bukan keterampilan penting.” Maka saya urungkan niat, dan entah mengapa, hingga hari ini saya masih membawa luka kecil dari situ. Dan saya berjanji, saya tak ingin mengulang luka yang sama pada anak saya, meski dalam bentuk yang berbeda.
Kita sering berpikir bahwa kita lebih tahu. Dan mungkin itu tidak salah, karena pengalaman kita lebih panjang. Tapi kita juga harus ingat, bahwa pengalaman bukan segalanya. Ada banyak hal yang anak kita lihat dan rasakan, yang kita tidak pernah alami. Mereka tumbuh dalam dunia yang lebih cepat, lebih terbuka, lebih penuh tekanan. Dan bisa jadi, kita bukan guru yang selalu tahu arah—kita adalah teman yang bersedia belajar.
Saya pun belajar. Dari anak saya yang tidak suka dipaksa, saya belajar berbicara dengan lebih sabar. Dari anak saya yang tidak suka belajar dengan cara saya, saya belajar melihat dunia dari sudut pandangnya. Saya belajar bahwa mendampingi bukan berarti menggiring. Saya belajar bahwa mencintai bukan berarti mengekang. Saya belajar bahwa anak saya bukan milik saya, dia hanya dititipkan pada saya untuk saya jaga, bukan saya bentuk menjadi salinan dari diri saya.
Terkadang, yang anak kita butuhkan hanyalah kalimat ini: “Tak apa kamu berbeda, Ayah/Ibu tetap mencintaimu.”
Sesederhana itu. Tapi juga sesulit itu.
Sebab untuk mengucapkannya dengan tulus, kita harus meluruhkan ego kita. Melepaskan gengsi sebagai orang tua. Merobohkan bayangan tentang anak ideal yang hanya hidup dalam kepala kita.
Anak kita boleh memilih jalur berbeda. Mungkin dia tidak sehebat yang kita impikan. Mungkin dia gagal di tempat kita dulu menang. Tapi jika dia bisa merasa cukup, merasa dicintai, dan tumbuh dengan penuh semangat, bukankah itu sudah cukup?
Saya pernah membaca sebuah kalimat: “Anak bukan kertas kosong yang harus kita tulisi, tapi taman yang harus kita sirami.”
Dan ya, saya kini percaya itu. Tugas kita bukan menuliskan hidup mereka, tapi menyirami dengan kasih sayang, mendampingi dengan pengertian, dan membiarkan mereka tumbuh dalam bentuk yang paling sesuai dengan benih mereka.
Mungkin bentuknya bukan pohon besar seperti kita. Mungkin hanya semak kecil berbunga. Tapi jika ia tumbuh dengan bahagia, maka taman itu telah indah pada tempatnya.
Dan mungkin, sebagai orang tua, kita hanya perlu belajar menatap taman itu dengan senyum, dan berkata dalam hati: “Terima kasih, Nak, telah berani menjadi dirimu sendiri.”