Menjadikan Doa sebagai Kebiasaan Keluarga: Membuka Hari dengan Harap, Menutup Malam dengan Syukur

Di tengah segala rutinitas rumah tangga, saya pernah merasa kehilangan sesuatu. Semua serba cepat. Sarapan sambil berlari. Pulang saling sibuk. Malam pun berlalu tanpa sempat bertukar cerita.
Sampai suatu malam, anak saya berbisik sebelum tidur: “Kita belum doa, Ma.”
Kalimat sederhana itu seperti mengetuk pelan hati saya. Rupanya, di tengah hiruk pikuk yang saya kira tak terlihat, anak ini menyimpan satu hal kecil yang mulai tumbuh jadi kebiasaan. Dan itu membuat saya berpikir: mungkin doa adalah satu-satunya hal sunyi yang mampu menyatukan kami, bahkan saat kata-kata tak sempat terucap.
Doa, Bukan Sekadar Ritual
Saya dibesarkan di keluarga yang juga terbiasa berdoa, tapi sering kali hanya saat-saat tertentu: sebelum ujian, saat sakit, atau saat berharap sesuatu.
Tapi setelah menjadi orang tua, saya mulai ingin menjadikan doa bukan sekadar “alat” untuk meminta sesuatu, tapi sebagai nafas kehidupan.
Saya ingin anak saya mengenal doa bukan sebagai hafalan panjang yang harus diulang-ulang, tapi sebagai ruang percakapan. Percakapan batin dengan Tuhan.
Saya ingin doa hadir seperti udara: tidak terlihat, tapi menenangkan. Tidak selalu terdengar, tapi terasa.
Mulai dari Hal-Hal Kecil
Kebiasaan doa di rumah kami tidak dimulai dari perintah. Tidak ada jadwal resmi, tidak ada paksaan untuk duduk dengan tangan menengadah.
Kami mulai dari hal-hal kecil.
Sebelum makan, saya ucapkan doa keras-keras, tapi tidak hanya dengan redaksi baku. Saya tambah dengan spontanitas: “Ya Allah, berkahi makanan ini. Semoga tubuh kita sehat dan bisa bermain lagi besok.”
Anak-anak menirukan. Kadang dengan kalimat yang lucu, kadang tidak sesuai, tapi saya biarkan. Karena saya percaya: kebiasaan tidak tumbuh dari kekakuan, tapi dari ruang aman untuk mencoba.
Saat hujan deras, saya mengajak mereka berdoa sambil menatap langit: “Ya Allah, semoga tidak ada yang kesulitan pulang karena banjir.”
Saat ada yang sakit, kami sama-sama menengadahkan tangan.
Saat ada kabar bahagia, kami ucapkan Alhamdulillah bersama.
Lambat laun, doa menjadi bagian dari bahasa kami.
Doa Sebagai Ruang Emosi
Saya pernah mendengar satu nasihat dari seorang guru: “Doa adalah tempat anak belajar jujur dan terbuka, bahkan kepada dirinya sendiri.”
Dan itu saya rasakan ketika suatu malam, anak saya menangis pelan dan berkata, “Aku mau doa supaya besok nggak dimarahi Bu Guru.”
Itu bukan sekadar permintaan. Itu adalah cara dia mengekspresikan rasa takut dan harapannya.
Saya tidak buru-buru memperbaiki kalimat doanya. Saya tidak langsung berkata, “Doanya harus begini, Nak.” Saya hanya ikut menunduk, memeluk, dan mengaminkan.
Karena saya sadar, doa bukan hanya tentang kalimat, tapi tentang kejujuran.
Dan saat anak mulai jujur dalam doanya, itu pertanda ia mulai mengenal dirinya… dan Tuhan.
Menyatu dalam Rutinitas Keluarga
Pelan-pelan, kami coba menempatkan doa dalam ritme harian keluarga.
Bukan dengan skenario besar, tapi dalam jeda-jeda yang sering terlupakan.
Pagi hari, sebelum masing-masing pergi menjalani aktivitas, kami duduk sebentar. Terkadang hanya satu-dua menit. Saling mendoakan. Saling mengucap, “Semoga hari ini menyenangkan, ya.”
Malam hari, sebelum tidur, kami saling menyebut satu hal yang disyukuri hari itu. Lalu bersama-sama mengucap doa pendek.
“Terima kasih ya Allah, hari ini kami bisa belajar, bisa ketawa, bisa kumpul sama keluarga.”
Anak-anak saya pun menambahkan: “Dan semoga besok bisa main hujan.”
Saya tersenyum. Doa mereka tak selalu masuk akal, tapi selalu tulus.
Kadang kami menambahkan doa-doa untuk orang lain—untuk teman yang sedang sakit, untuk tetangga yang sedang diuji, atau sekadar untuk burung-burung yang terdengar dari jendela.
Dan ternyata, membiasakan doa seperti ini perlahan membentuk empati. Anak jadi terbiasa memikirkan orang lain, bukan hanya dirinya.
Tidak Selalu Ideal, Tapi Bermakna
Tentu saja, ada hari-hari di mana kami lupa. Ada malam di mana anak-anak keburu tertidur, atau pagi-pagi yang terlalu tergesa. Tapi saya belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri.
Yang penting, suasana itu tetap ada.
Bahwa dalam hati kami ada ruang yang selalu terbuka untuk berdoa, meski tidak sempurna.
Kadang saya berdoa sambil menyetir, sambil memasak, sambil membereskan mainan anak.
Doa menjadi lintasan hati yang tak lagi harus menunggu waktu dan tempat khusus.
Dan ketika anak melihat itu, mereka pun belajar: bahwa mendekat pada Tuhan bisa kapan saja, di mana saja, tanpa harus merasa “harus sempurna dulu.”
Menutup Hari dengan Doa, Membuka Pagi dengan Harapan
Ada satu momen favorit saya: saat kami sekeluarga duduk di ruang tengah, lampu sudah redup, anak-anak berselimut, lalu kami berdoa bersama.
Di momen itu, tidak ada gadget, tidak ada suara TV, tidak ada tugas sekolah. Hanya kami dan suara hati.
Saya percaya, itulah yang kelak akan dikenang anak-anak.
Bukan soal doa apa yang diucapkan, tapi perasaan hangat ketika mereka merasa: ada cinta yang mendekap, ada Tuhan yang mendengar, ada rumah yang mendoakan.
Penutup: Menanam Doa dalam Hati Anak
Membiasakan doa dalam keluarga bukan tentang hafalan panjang atau target-target harian. Ini tentang menciptakan suasana.
Tentang menjadikan doa sebagai bagian dari napas keluarga: lembut, alami, dan tulus.
Doa bukan sekadar jalan menuju harapan, tapi juga cara untuk tetap waras dalam dunia yang sibuk.
Dan ketika doa sudah menjadi bagian dari rumah, maka rumah itu akan selalu punya cahaya, meski kadang gelap.
Karena di sanalah, anak-anak belajar: bahwa dalam hidup, kita tidak sendirian. Ada Tuhan. Ada cinta. Dan ada keluarga yang selalu mendoakan.[*]