Qurban dan Rasa Syukur: Mengajarkan Anak Bahwa Tidak Semua Orang Bisa Makan Daging Setiap Hari

Mengajarkan anak bahwa tidak semua orang bisa makan daging setiap hari (Gemini AI)

DESKRIPSI : Idul Adha bisa jadi momen penting untuk membuka mata anak bahwa daging bukan makanan sehari-hari bagi semua orang. Lewat qurban, kita ajarkan rasa syukur dan empati dari hal yang tampak biasa.

CHARACTER LEARNING – “Bunda, kenapa kita bagi-bagi daging ke orang-orang?”
Pertanyaan itu datang dari anak saya, dengan ekspresi polos namun sungguh ingin tahu. Ia baru selesai membantu saya menata kantong-kantong daging qurban yang akan dibagikan. Tangannya masih bau amis, tapi matanya bersinar penuh rasa ingin mengerti.

Saya menatap wajahnya sejenak, lalu duduk bersamanya di lantai dapur yang masih berantakan oleh aktivitas pemotongan daging. “Karena tidak semua orang bisa makan daging setiap hari,” jawab saya pelan. Tapi saya tahu, jawaban itu tak cukup. Ia butuh cerita, bukan hanya pernyataan.

Anak-Anak dan Dunia yang Terbatas

Anak-anak, terutama yang tumbuh di keluarga yang cukup, sering tak menyadari bahwa kehidupan yang mereka jalani bukanlah gambaran utuh dari dunia. Di rumah, ayam goreng bisa muncul kapan saja. Daging sapi bisa dibeli beku dari supermarket. Nugget, sosis, atau bakso daging menjadi lauk harian.

Tak salah. Itu semua bentuk rezeki. Tapi justru karena itulah, kita sebagai orang tua perlu membantu mereka melihat bahwa kemudahan ini tidak dimiliki semua orang. Bahwa di luar sana, ada anak-anak seusia mereka yang hanya bisa makan daging setahun sekali—saat Idul Adha tiba.

Saya bercerita padanya tentang seorang nenek di kampung sebelah yang setiap tahun menangis haru saat menerima daging qurban. “Nenek itu tinggal sendiri. Kadang makan nasi dengan garam saja. Tapi setiap Idul Adha, beliau bisa makan daging dan bersyukur sekali pada Allah.”

Anak saya terdiam. Lama. “Berarti… kalau kita bisa makan daging sering, kita harus bersyukur, ya?”

Saya tersenyum, mengusap rambutnya yang bau bawang dan asap. “Iya. Dan salah satu bentuk syukur adalah berbagi.”

Qurban Bukan Sekadar Menyembelih

Bagi sebagian anak, qurban adalah tentang keramaian. Tentang kambing yang lucu-lucu. Tentang sate di malam hari dan gulai keesokan harinya. Dan tentu, itu bagian dari kegembiraan. Tapi jika hanya itu yang ditangkap, maka qurban jadi perayaan kosong. Padahal, ada nilai besar yang bisa diajarkan dari sini: empati dan rasa cukup.

Saya tak ingin anak saya hanya menikmati dagingnya. Saya ingin ia menyadari mengapa daging itu penting bagi orang lain. Maka kami sering berdiskusi:

“Kamu tahu nggak, banyak orang tua yang harus kerja keras seminggu penuh cuma untuk beli seperempat kilo daging?”

“Berarti daging itu mahal banget buat mereka?”

“Iya. Dan bukan cuma mahal, kadang tidak terjangkau. Maka saat mereka menerima daging qurban, mereka merasakannya sebagai hadiah dari langit.”

Mendidik Hati dari Hal yang Tampak Biasa

Kita sering berpikir bahwa pelajaran hidup yang mendalam hanya datang dari pengalaman besar—jatuh bangun, kegagalan, atau kehilangan. Padahal, banyak pelajaran hidup yang bisa tumbuh dari hal-hal sederhana… seperti sepotong daging.

Anak saya pernah berkata setelah membagikan daging qurban, “Aku sedih lihat ada ibu yang langsung buka kantong dagingnya, terus senyum-senyum kayak baru dapet hadiah.”

Saya menjawab, “Itu karena buat beliau, itu memang hadiah. Kita sering lupa betapa berartinya hal kecil bagi orang lain.”

Dari momen seperti ini, anak-anak mulai belajar bahwa tidak semua orang hidup dalam kenyamanan. Bahwa bersyukur bukan hanya soal mengucapkan “Alhamdulillah”, tapi juga soal menyadari bahwa tidak semua orang punya hal yang sama seperti kita.

Menyentuh Jiwa Anak Lewat Cerita

Saya percaya, anak-anak menyerap nilai bukan dari nasihat panjang, tapi dari kisah yang menyentuh hati. Maka saya sering membacakan cerita tentang anak yatim yang menunggu Idul Adha untuk bisa mencicipi daging, atau tentang keluarga sederhana yang berbagi walau hanya punya sedikit.

Suatu malam, anak saya bertanya, “Bunda, kalau kita nggak qurban, berarti ada orang yang nggak bisa makan daging tahun ini?”

Saya mengangguk. “Mungkin iya.”

Lalu ia berkata dengan penuh kesungguhan, “Kalau aku besar nanti, aku pengin qurban tiap tahun, biar banyak orang bisa bahagia.”

Dan saya tahu, pelajaran itu sampai. Bukan karena saya memaksanya mengerti. Tapi karena ia merasakan sendiri makna qurban lewat proses yang jujur.

Qurban adalah Pengingat: Syukur Itu Harus Diajarkan

Di zaman ketika makanan bisa dipesan dalam satu klik, rasa syukur bisa jadi kabur. Anak-anak terbiasa dengan semua yang tersedia tanpa perlu tahu bagaimana susahnya mendapatkannya. Dan qurban menjadi salah satu momen terbaik untuk menghadirkan kembali kesadaran itu.

Saya ajak anak saya ke rumah warga penerima daging. Ia melihat sendiri kondisi rumah yang sempit, perabotan yang sederhana, dan senyum tulus penuh terima kasih saat mereka menerima satu kantong kecil daging.

Saya tak perlu berkata banyak. Ia pulang dengan mata yang lebih jernih, dan hati yang lebih peka.

Penutup: Daging Bukan Sekadar Makanan, Tapi Jembatan Empati

Mengajarkan anak bahwa tidak semua orang bisa makan daging setiap hari bukan tentang membuat mereka merasa bersalah karena cukup. Tapi tentang mengajarkan mereka untuk tidak menganggap remeh nikmat yang mereka punya. Untuk tidak memandang hidup dari kacamata sempit miliknya sendiri saja.

Lewat qurban, kita tidak hanya menyembelih hewan. Kita juga menyembelih keangkuhan, membelah ego, dan menanamkan cinta kasih dalam tindakan nyata.

Dan saat anak-anak kita tumbuh dengan kesadaran itu, kita tidak hanya melahirkan generasi yang taat ibadah, tapi juga generasi yang berhati lembut—yang peka, bersyukur, dan tahu bahwa sepotong daging pun bisa menjadi pelajaran hidup.

Karena kadang, pelajaran terbesar justru datang dari hal yang paling sederhana—dari apa yang kita makan, dan dari siapa yang tidak bisa memakannya.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *