Saat Aku Menyadari Segalanya Hanya Titipan: Refleksi Diri tentang Kepemilikan, Ego, dan Rasa Malu

Deskripsi :
Aku pernah merasa segalanya milikku—anak, pasangan, pencapaian. Tapi ternyata semuanya hanya titipan. Bahkan napas ini pun bukan milik sendiri. Aku malu pada kebodohan yang dulu kuanggap benar.
CHARACTER LEARNING – Di dunia ini, terutama di tempat kerja atau di lingkungan tempat tinggal, aku sering merasa seperti bayangan. Ada, tapi tidak benar-benar terlihat. Hadir, tapi tak pernah menjadi pusat perhatian. Dulu aku menganggap itu sebagai bentuk kegagalan—seolah aku kurang menonjol, kurang penting, kurang cukup untuk dihargai.
Tapi akhir-akhir ini, aku justru mulai melihat itu sebagai bentuk rahmat.
Mungkin memang seharusnya aku menjadi seperti bayangan: ada, tapi tidak menggenggam; hadir, tapi tidak merasa memiliki. Karena sejatinya… tidak ada yang benar-benar milikku.
Semua yang Aku Anggap Milikku, Ternyata Bukan
Dulu, aku sangat bangga dengan apa yang kupunya. Anak-anakku, pasanganku, pekerjaan yang kudapatkan dengan kerja keras, pencapaian yang membuatku merasa lebih dari sekadar “cukup”.
Aku pernah memamerkan mereka, mungkin bukan secara terang-terangan, tapi dalam hati. Merasa bahwa ini semua adalah hasil jerih payahku. Aku yang begadang. Aku yang bertahan. Aku yang berkorban. Maka wajar dong kalau semua ini jadi “punya” ku?
Nyatanya, aku salah.
Sungguh salah.
Semakin aku merenung, semakin aku menyadari bahwa semua yang selama ini kuanggap sebagai milikku… ternyata hanya titipan. Dan yang lebih menyakitkan lagi, aku bahkan memperlakukan titipan itu seolah itu hak penuh milikku. Seolah aku bebas mempergunakannya sesuka hati. Bukan sesuai kehendak Allah, tetapi sesuai ego dan rencana pribadiku.
Bahkan Napas Ini Pun Bukan Milikku
Ketika bangun tidur, aku menarik napas dalam-dalam. Otomatis. Tanpa pikir panjang. Tapi tahukah kamu, aku tak bisa menjamin bahwa napas berikutnya akan datang?
Napasku—hal paling mendasar dalam hidup—bukan milikku. Ia adalah pinjaman yang setiap saat bisa diambil kapan saja. Tapi aku mempergunakannya seolah aku pemiliknya. Aku gunakan untuk berkata sesukaku, marah semaunya, mengeluh tanpa batas. Padahal, itu napas yang dipinjamkan Tuhan.
Aku malu.
Malu pada keangkuhanku dulu. Pada kebodohanku yang merasa bisa mengatur hidup, mengatur masa depan, bahkan mengatur perasaan orang lain, seakan-akan semuanya ada dalam genggamanku.
Padahal bahkan jantungku berdetak bukan atas perintahku.
Ketika Ego Menutup Rasa Syukur
Dulu, aku kira dengan memiliki banyak hal, aku akan lebih bersyukur. Tapi ternyata, memiliki tak selalu membuat hati lapang. Kadang justru membuat kita takut kehilangan. Membuat kita merasa harus mempertahankan. Dan karena takut kehilangan itu, kita menjadi keras, curiga, menuntut, dan akhirnya… lupa bersyukur.
Ego datang membawa rasa kepemilikan palsu. Aku merasa ini anakku, maka dia harus begini. Ini pasanganku, maka dia harus begitu. Ini pencapaianku, maka orang lain harus menghargai.
Padahal semua itu hanya ilusi.
Allah bisa mengambil semuanya kapan saja, tanpa permisi.
Dan ketika itu terjadi, aku hanya bisa terduduk, tak mampu berkata-kata. Karena aku sadar, yang selama ini kuanggap milik, ternyata hanya titipan yang kujaga dengan cara yang salah.
Refleksi yang Terlambat Tapi Tak Pernah Terlalu Terlambat
Aku tahu, penyesalan ini datang terlambat. Tapi lebih baik terlambat menyadari, daripada terus hidup dalam ilusi.
Aku ingin belajar menjadi hamba. Bukan pemilik.
Belajar menerima bahwa anakku adalah amanah, bukan kepunyaan.
Pasanganku adalah rekan perjalanan, bukan properti.
Pencapaian adalah bentuk kasih sayang Allah, bukan bukti kehebatan diri.
Dan napas ini… adalah pengingat paling halus dari Allah, bahwa aku masih diberi kesempatan. Untuk berubah. Untuk bersyukur. Untuk meminta ampun.
Aku Malu Tapi Juga Bersyukur
Malu karena pernah sangat bodoh. Tapi bersyukur karena Allah masih memberiku waktu untuk menyadari semuanya.
Kita ini hanya pengembara. Apa yang kita bawa hari ini, bisa saja hilang esok hari. Apa yang kita genggam erat, bisa saja lenyap tanpa jejak. Tapi jika kita menyadari bahwa semua itu hanyalah titipan, maka kita bisa merawatnya dengan lebih lembut. Dengan tidak terlalu menggenggam, dan dengan tidak terlalu menuntut.
Dan kalau pun harus kehilangan, kita bisa ikhlas. Karena kita tahu, yang kembali pada-Nya adalah sesuatu yang memang sejak awal milik-Nya.
Maafkan Aku, Ya Allah
Ya Allah, maafkan aku atas kebodohan ini.
Atas rasa memiliki yang melampaui batas.
Atas keangkuhan yang dulu kusangka sebagai bentuk tanggung jawab.
Atas ucapan-ucapan yang merasa berhak atas sesuatu yang bukan milikku.
Maafkan aku yang dulu hidup seolah-olah Engkau tidak terlibat dalam segalanya.
Padahal setiap hela napas pun berasal dari-Mu.
Penutup: Menjadi Bayangan yang Ikhlas
Kini aku tak lagi merasa sedih saat dianggap seperti bayangan. Karena aku mulai memahami bahwa memang seharusnya begitu. Bahwa aku tak pernah jadi pusat dari segala hal. Allah-lah pusatnya. Aku hanya pelayan, penjaga, penerima amanah.
Menjadi bayangan bukan berarti tak berarti. Tapi menjadi seseorang yang sadar bahwa ia bukan pemilik. Hanya penjaga. Dan penjaga yang baik tahu caranya bersikap: lembut, penuh syukur, dan siap kapan saja jika harus melepaskan.
Jika kamu juga pernah merasa memiliki terlalu erat, terlalu egois, terlalu yakin bahwa semuanya “punya” kita—maka mari kita sama-sama belajar.
Untuk kembali sadar.
Untuk merendah.
Dan untuk berkata, “Ya Allah, maafkan aku… dan terima kasih karena Engkau masih memberiku waktu untuk pulang.”[*]