Saat Kita Merasa Tak Pantas: Mengurai Luka Batin dan Menemukan Rahmat di Tengah Kelemahan

Deskripsi :
Kadang kita merasa harus sempurna dulu untuk dekat dengan Allah. Padahal, rahmat-Nya justru hadir saat kita jujur bahwa kita lemah dan tak mampu tanpa-Nya.


CHARACTER LEARNING – Pernahkah kamu merasa tidak pantas?

Bukan karena dosa besar atau kesalahan yang nyata-nyata menganga, tapi karena kamu merasa… kurang baik saja. Kurang rajin beribadah. Kurang disiplin. Kurang sabar. Kurang mampu menjaga hati. Kurang ikhlas. Dan karena terlalu banyak “kurang” itu, kamu merasa seperti bukan orang yang pantas disayang Allah.

Saya pun pernah berada di fase itu. Fase ketika saya merasa bahwa untuk bisa dekat dengan Allah, saya harus dulu menjadi seseorang yang lebih baik. Harus lebih rajin salat malam. Harus lebih sering mengaji. Harus lebih sabar, lebih ikhlas, lebih “bersih”. Saya mematok standar tinggi pada diri sendiri — bukan karena ingin sombong, tapi karena saya pikir memang seharusnya begitu kalau ingin dicintai oleh Tuhan.

Namun, di balik semua itu, ada luka batin yang diam-diam menganga: saya tidak benar-benar yakin bahwa Allah bisa mencintai saya yang seperti ini — yang jauh dari sempurna.

Terjebak dalam Standar yang Tidak Allah Buat

Kita tumbuh dalam budaya yang menghargai pencapaian. Dihargai kalau bisa, kalau berhasil, kalau punya sesuatu yang bisa dipamerkan. Tanpa sadar, standar itu kita bawa juga dalam hubungan kita dengan Allah.

Kita pikir Allah mencintai kita karena kita hebat. Karena kita bisa menahan amarah. Karena kita bisa istiqamah. Karena kita mampu menghafal banyak ayat. Karena kita kuat dalam menahan godaan.

Padahal, Allah mencintai karena Dia Maha Pengasih. Dan kasih-Nya tidak menunggu kita sukses dulu.

Kasih-Nya datang justru saat kita mau mengakui, “Ya Allah, aku ini lemah. Aku sering gagal. Aku sering lalai. Tapi aku tetap ingin pulang pada-Mu.”

Di situlah pintu rahmat dibuka.

Kelemahan yang Menguatkan

Aneh memang, bahwa di balik pengakuan akan kelemahan, justru kita menemukan kekuatan.

Ketika kita tidak lagi pura-pura kuat di hadapan Allah, ketika kita bersimpuh dan berkata, “Aku tidak bisa tanpamu,” saat itulah kita benar-benar kuat. Karena kita sedang bergantung pada yang tidak pernah rapuh.

Saya belajar satu hal penting dalam perjalanan ini: kita tidak harus menjadi hebat dulu untuk dekat dengan Allah.

Justru sebaliknya.
Allah tidak menunggu kita “jadi baik dulu” untuk dicintai-Nya.
Allah ingin kita datang dalam kondisi kita yang paling rapuh.

Datang dengan air mata. Dengan dosa-dosa yang masih menggumpal. Dengan hati yang masih berantakan. Dan cukup berkata, “Ya Allah, aku ingin kembali.”

Allah Tidak Jijik dengan Hati yang Kotor

Pernah saya merasa terlalu kotor untuk berdoa. Terlalu banyak dosa untuk bisa mengangkat tangan. Tapi ternyata saya salah.

Allah tidak jijik dengan hati yang kotor. Yang membuat-Nya murka adalah ketika kita merasa tidak butuh ampunan-Nya. Ketika kita sombong untuk tidak meminta.

Ingatlah, dosa kita besar, tapi ampunan-Nya jauh lebih besar.

Bahkan, kata Nabi, seandainya manusia tidak berdosa, maka Allah akan menggantikan kita dengan kaum yang berdosa, agar mereka bisa beristighfar dan Allah mengampuni mereka.

Betapa luas rahmat itu.

Pelan-Pelan Saja, Asal Arah Kita Benar

Kita tidak harus lari. Kadang berjalan pun sudah cukup. Bahkan merangkak, jika itu satu-satunya cara untuk tetap mendekat kepada-Nya.

Kita tidak berlomba menjadi sempurna. Kita hanya perlu istiqamah dalam berusaha, meski jatuh bangun.

Yang penting, kita tidak berhenti.

Tidak apa-apa jika sekarang kita masih sering lalai. Tidak apa-apa jika bacaan Al-Qur’an masih terbata. Tidak apa-apa jika salat kita belum khusyuk.

Selama kita terus mau belajar, terus mau kembali, insyaAllah itu cukup. Karena Allah melihat usaha, bukan hasil.

Jangan Terlalu Keras pada Diri Sendiri

Kadang kita lebih kejam pada diri sendiri daripada Allah. Kita menghukum diri karena gagal menjaga iman. Kita merasa tak layak menerima rahmat. Kita mencaci diri karena terjatuh ke lubang yang sama.

Padahal Allah tak pernah lelah memberi kesempatan.

Setiap pagi adalah pertanda bahwa Allah belum menyerah pada kita. Bahwa Dia masih percaya kita bisa berubah. Bahwa Dia masih ingin mendengar kita berdoa.

Jadi, jangan terlalu keras pada diri sendiri.
Maafkanlah diri.
Peluklah dirimu sendiri, dan katakan: “Aku memang belum sempurna, tapi aku tetap berharga di mata-Nya.”

Kesimpulan: Jalan Pulang Selalu Terbuka

Kita tidak harus hebat dulu untuk dekat dengan Allah. Kita hanya perlu jujur: bahwa kita ini lemah, dan bahwa kita butuh Dia.

Mungkin saat ini kita belum sehebat orang lain. Belum sebaik teman-teman kita yang aktif di kajian, belum selurus mereka yang istiqamah sejak lama. Tapi jalan pulang itu selalu terbuka.

Allah tidak melihat seberapa bersih kita saat datang, tapi seberapa tulus kita ingin kembali.

Dan yakinlah, Allah Maha Menerima Taubat. Bahkan saat kita sendiri sudah hampir menyerah pada diri sendiri — Dia tetap menunggu kita pulang.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *