Terlalu Sibuk Bekerja, Lalu Anak Tumbuh Sendiri: Saat Kita Menyesal Saat Waktu Sudah Terlalu Jauh

Saat Sibuk Bekerja Membuat Kita Asing di Rumah Sendiri: Refleksi Seorang Orang Tua yang Mulai Tersadar (Cici AI)

Deskripsi: Kadang kita bekerja demi masa depan anak, tapi justru melewatkan masa kini mereka. Dan masa itu, tak akan pernah bisa kembali.

CHARACTER LEARNING – Aku pernah merasa bangga ketika bisa memenuhi semua kebutuhan anakku. Pakaian yang layak, mainan yang mereka sukai, sekolah yang bagus, bahkan sesekali liburan. Tapi ada satu momen yang membuatku terdiam, bahkan menyesal: saat aku menyadari, aku tidak tahu siapa sahabat dekat anakku. Aku tidak tahu pelajaran apa yang paling mereka sukai, atau apa yang membuat mereka cemas minggu ini.

Dan momen itu menamparku pelan, tapi dalam.

Selama ini, aku terlalu sibuk bekerja. Pagi hari aku pergi sebelum mereka benar-benar bangun, malam hari aku pulang saat mereka sudah lelah menunggu. Aku pikir ini semua demi mereka—demi masa depan mereka. Tapi perlahan aku menyadari: aku mungkin sedang menyiapkan masa depan mereka, tapi di saat yang sama, aku sedang kehilangan masa kecil mereka.


Sebagai orang tua, kita sering kali terjebak dalam definisi sukses yang sempit. Kita ingin anak-anak bahagia, sehat, terjamin pendidikannya. Tapi tanpa sadar, kita menukar kehadiran kita dengan semua itu. Kita hadir secara finansial, tapi absen secara emosional.

Kita lupa bahwa anak-anak tidak hanya butuh dibelikan mainan, tapi juga ingin ditemani saat memainkannya. Mereka tak hanya ingin sekolah bagus, tapi ingin didengarkan saat pulang sekolah. Mereka mungkin tidak berkata-kata, tapi hati mereka merekam semua bentuk perhatian dan pengabaian.

Dan sedihnya, perhatian bukan tentang jumlah uang yang kita keluarkan, melainkan jumlah waktu dan tatapan yang kita berikan.


Aku pernah melihat anakku menunjukkan gambar yang ia buat di sekolah. Dengan semangat ia berkata, “Aku gambar ini karena ingat Ayah suka gunung.” Tapi waktu itu, aku hanya menjawab, “Wah, bagus,” sambil tetap menatap layar ponsel. Ia pun pelan-pelan meletakkan gambarnya, dan tidak melanjutkan ceritanya.

Dari momen kecil seperti itulah jarak terbentuk. Kita tidak perlu melakukan kesalahan besar untuk menyakiti anak—ketidakhadiran pun bisa menciptakan luka yang dalam.

Bekerja memang penting. Kita perlu bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Tapi di atas semua itu, anak kita tidak hanya butuh kita sebagai pencari nafkah, mereka butuh kita sebagai orang tua yang hadir.


Ada masa di mana anak akan sangat ingin dekat dengan kita. Mereka ingin bercerita, ingin bermain, ingin tahu pendapat kita tentang banyak hal. Tapi masa itu tidak panjang. Ia tidak menunggu sampai kita “selesai sibuk.” Ia akan lewat, diam-diam, dan tak akan pernah kembali.

Anak-anak tumbuh dalam diam. Dan tahu-tahu, kita tidak lagi jadi orang pertama yang mereka cari saat ada cerita lucu atau saat mereka merasa sedih. Kita mungkin masih menyediakan rumah yang hangat, tapi mereka merasa tidak memiliki tempat pulang yang benar-benar memahami mereka.


Terkadang, rasa bersalah itu datang terlambat. Kita baru sadar ketika anak lebih nyaman di luar rumah. Ketika mereka tidak lagi banyak bicara. Ketika mereka tumbuh menjadi pribadi yang “mandiri”—bukan karena kita berhasil, tapi karena mereka terbiasa sendiri.

Lalu kita bertanya-tanya, ke mana perginya waktu itu?

Padahal jawabannya sederhana: kita tukar waktu itu dengan pekerjaan, rapat, lembur, dan target yang tidak ada habisnya.


Namun aku percaya, belum ada kata terlambat untuk berubah. Hubungan dengan anak tidak dibangun dalam satu hari, tapi bisa diperbaiki setiap hari.

Mulailah dengan hal-hal kecil. Dengarkan mereka bercerita tanpa menyela. Matikan ponsel saat mereka meminta perhatian. Peluk mereka tanpa alasan. Tanyakan hal-hal sederhana tentang hari mereka, bukan hanya nilai ulangan atau PR yang belum selesai.

Jadilah rumah, bukan hanya tempat tinggal. Jadilah pendengar, bukan hanya penyuruh. Jadilah kehadiran, bukan sekadar bayangan.


Hari ini, aku masih bekerja. Tapi aku belajar untuk memberi ruang pada hal yang jauh lebih penting: anak-anakku. Aku belajar bahwa satu jam mendengarkan mereka lebih berharga dari sepuluh jam lembur. Aku belajar bahwa mereka tidak akan mengingat berapa banyak yang kubelikan, tapi mereka akan mengingat bagaimana aku membuat mereka merasa.

Karena pada akhirnya, anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka hanya butuh kita—yang benar-benar hadir.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *