Tidak Ada Ibu yang Tertinggal di Jalan Tuhan: Spiritualitas Sejati Tak Selalu Tentang Doa yang Terdengar

Deskripsi :
Ibu sering merasa tertinggal dalam urusan ibadah karena sibuk mengurus anak. Tapi sesungguhnya, setiap peluhnya adalah bagian dari perjalanan spiritual yang tak pernah tertinggal di mata Tuhan.
CHARACTER LEARNING – Aku pernah merasa tertinggal dalam banyak hal sejak menjadi ibu—tertinggal dalam karier, dalam percakapan, dalam pencapaian, dan yang lebih menyedihkan, aku merasa tertinggal dalam urusan dengan Tuhan.
Ketika teman-temanku membagikan foto kajian mereka, tadarus mereka, perjalanan umrah mereka, aku merasa kecil. Aku? Bahkan shalat kadang harus ditunda karena anak merengek. Bahkan wudhu bisa batal berkali-kali karena harus mengelap muntah atau mengejar anak yang berlari tak mau pakai baju.
Rasanya seperti… aku bukan bagian dari para pencari Tuhan. Aku hanya ibu rumah tangga yang bahkan tak sempat membaca satu ayat Qur’an dengan tenang.
Tapi semakin aku larut dalam perasaan itu, semakin aku mendengar suara halus di dalam hati: “Benarkah engkau tertinggal? Ataukah engkau sedang berada di jalan-Nya, hanya dalam bentuk yang berbeda?”
**
Aku mulai merenungi. Mungkinkah Tuhan hanya menerima orang-orang yang rajin duduk bersila dalam dzikir panjang? Mungkinkah ibu-ibu yang berkutat dengan cucian, popok, nasi, dan tangisan anak tidak termasuk pejalan ruhani?
Kupikir, itu tidak adil.
Dan Tuhanku, aku yakin, Maha Adil.
Lalu aku membaca ulang kisah Maryam, ibunda Nabi Isa. Ia tidak sedang duduk dalam majelis ilmu saat malaikat datang membawa kabar suci. Ia sedang sendiri. Mengandung. Dalam kesunyian. Dalam lelah dan takut. Tapi di situlah Tuhan hadir.
Aku terdiam lama.
Mungkinkah, ibu-ibu seperti kita, yang sibuk dalam keseharian yang tak sempat khusyuk duduk, justru sedang berjalan di jalan Tuhan, dengan cara yang tak pernah kita sadari?
**
Aku mulai membuka mata. Menyusui anak dengan sabar—bukankah itu bentuk tawakal? Menahan emosi saat anak menumpahkan susu di atas sajadah—bukankah itu bentuk jihad nafs? Tidur sebentar-sebentar karena anak rewel semalaman—bukankah itu bentuk mujahadah?
Lalu aku sadar, bahwa spiritualitas bukan soal seberapa panjang bacaan doa, tapi seberapa dalam kesadaran akan Tuhan dalam setiap detik kehidupan.
Dan ternyata, menjadi ibu, justru membuatku lebih sering menyebut nama-Nya—walau dalam hati.
Saat anak sakit, aku tak henti-henti berdoa. Saat dapur penuh panci kotor dan badan remuk, aku tetap berdiri karena hanya Dia yang menguatkan. Saat aku merasa gagal, hanya pada-Nya aku menangis.
Bukankah itu juga bentuk ibadah?
**
Kita terbiasa melihat ibadah dalam bentuk-bentuk ritual formal. Tapi spiritualitas tidak selalu berbentuk sajadah. Ia bisa hadir dalam sendok yang suapannya disertai cinta. Dalam tangan yang membasuh luka anak. Dalam pelukan yang menyembuhkan ketakutan kecilnya.
Kita sering merasa tidak cukup suci karena tidak sempat qiyamul lail, padahal setiap malam kita bangun juga—tapi bukan untuk tahajud, melainkan mengganti popok atau menyusui bayi. Dan Tuhan tahu.
Ia Maha Tahu.
Mungkin Ia sedang berkata, “Ibu, engkau tak tertinggal. Engkau hanya menempuh jalan lain menuju-Ku—jalan cinta tanpa suara.”
**
Ada satu momen yang tak kulupakan. Suatu malam, anakku demam tinggi. Aku sangat lelah. Rasanya seperti tubuh ini akan ambruk. Tapi aku tetap terjaga. Mengompres, memeluk, menghibur. Dalam hati aku berkata, Ya Allah, andai semua ini bernilai di sisi-Mu… cukupkan aku dengan ridha-Mu.
Aku tidak membaca wirid malam itu. Tapi aku menyebut nama-Nya dalam peluh dan air mata.
Dan aku percaya, itu juga dzikir.
Bukan karena aku hafal ayat, tapi karena aku butuh-Nya.
Bukan karena aku sempurna, tapi karena aku tahu hanya Dia yang bisa menguatkanku.
**
Sejak itu, aku tidak lagi merasa kecil ketika tidak bisa mengikuti kajian, atau ketika tidak sempat menamatkan satu juz dalam seminggu.
Aku tak merasa berdosa karena tidak bisa selalu shalat sunah panjang. Karena setiap kali aku menyiapkan makanan dengan niat cinta, itu adalah amal jariyah.
Setiap kali aku menenangkan anak yang tantrum dengan sabar, itu adalah tasbih batin.
Setiap kali aku melepaskan ego demi mendidik dengan kelembutan, itu adalah puasa jiwa.
Dan setiap kali aku bertahan dalam kelelahan karena cinta… itu adalah jalan fana menuju Tuhan.
**
Aku menulis ini untukmu, wahai ibu, yang mungkin sedang merasa tak cukup religius karena terlalu sibuk mencuci, memasak, menyuapi, dan menenangkan tangis.
Engkau tidak tertinggal.
Engkau justru sedang berada di jalur tercepat menuju Allah, karena engkau sedang mencintai ciptaan-Nya dengan segenap jiwa.
Karena engkau sedang berjuang. Dan setiap perjuangan yang dilandasi cinta, akan mengantar kita ke hadapan-Nya—meski tanpa suara, meski tanpa sajadah, meski tanpa sorban dan buku doa.
Jangan merasa rendah karena dunia tidak melihat. Karena Tuhan melihat. Dan itu lebih dari cukup.
**
Spiritualitas seorang ibu adalah spiritualitas yang senyap. Ia tidak memukau di permukaan, tapi menembus langit. Ia bukan ibadah yang tampak megah, tapi ia ibadah yang membentuk manusia baru: anak-anak kita.
Bukankah mendidik satu anak dengan iman adalah amal yang bisa lebih besar dari ibadah pribadi yang panjang? Bukankah membentuk manusia yang mengenal Tuhan adalah tanda kita sendiri berjalan bersama Tuhan?
Dan bukankah Tuhan lebih dekat dari urat leher kita—juga di tengah cucian kotor, piring menumpuk, dan anak-anak yang tertawa dan menangis dalam satu waktu?
**
Jadi, wahai ibu… tenanglah.
Engkau tidak tertinggal.
Bahkan bisa jadi, engkaulah yang lebih dahulu sampai—karena engkau memilih berjalan dengan cinta, bukan gengsi. Dengan lelah, bukan gelar. Dengan sabar, bukan sorotan.
Di jalan Tuhan, tak ada satu pun ibu yang tertinggal.
Hanya saja, jalannya tidak selalu terlihat indah. Tapi akhir perjalanannya… adalah Surga.[*]